berhadap-hadapan, meski secara fisik terlihat ada perbedaan mencolok karena faktor umur
yang berselisih jauh, tapi dari jogrogan keduanya masih ingin menunjukkan kebolehannya
dalam mempraktikkan jurus-jurus silat yang dikuasai. Terbukti dari kuda-kuda yang
dipertontonkan terlihat jelas kalau mereka bukan orang sembarangan.
TABUHAn gendang makin menambah
kesemarakkan suasana, sementara penonton kian

penasaran ingin buru-buru menyaksikan keduanya
bertarung sembari membayangkan seolah-olah
yang berdiri di depan mereka memang dua sosok
pendekar yang sering dilihat di film-film silat.
“Eh, bang. Ikan gabus dari Kali Malang. Dipecak
lada pedes rasanya. Ini jurus bukan sembarang,
kena kepala susah obatnya,” kata jawara berpangsi
hitam sambil berpantun.
“Eh, bang. Pecak lada emang pedes rasanya.
Dimakannya pas tengah hari. Kalo emang kena kepala
susah obatnya, gua tetep kaga bakal lari,” sahut
jawara berpangsi merah sambil menepuk dada.
Penonton makin riuh, bunyi gendang kian menjadi.
Bersamaan dengan itu keduanya mulai merangsek
maju, mengeluarkan jurus-jurus andalan sambil
mengarahkan pukulan, tendangan dan tangkisan.
Situasi makin panas, apalagi bendo dari sarung pun
ikut dikeluarkan, diputar-putar dan ditebaskan ke
sana-sini. Jawara berpangsi hitam kelihatan lebih
berpengalaman karena mampu menghindari ayunan senjata khas Bekasi dengan lihaynya. Pertarungan
terus berlanjut, sampai akhirnya suara adzan dari
masjid Al-Mubarok di sebelah kanan panggung
menyadarkan mereka untuk segera menghentikan
atraksi yang memang menarik perhatian itu.
“Eh, bang. Kaen sarung baru dicuci, dijemur
di depan latar. Kita betarung kudu brenti. Udah
waktunya kita sholat Azhar,” kata jawara berpangsi
merah.
“Eh, bang. Njemur kaen emang di latar, latarnya
masih tanah merah. Ayo sigra kita sholat Ashar,
berharap redo dan dapet berkah,” sahut si pangsi hitam.
Penonton bertepuk tangan buat keduanya
sebagai pujian karena telah memberikan hiburan
menyegarkan. Pemandangan tersebut bisa dilihat
saat digelar acara Kria’an Bekasi. Berbagai suguhan
menarik ditampilkan, mulai dari sajian kuliner khas
Bekasi seperti sagon, abug, dodol, emping jengkol,
bandeng rorod, laksa, asinan dan sebagainya. Nuansa kehidupan masyarakat Bekasi yang plural
(menurut kajian Antropolog lulusan Universitas
Udayana-Bali, DR Farida Indriani Oesmansyah) pun
tergambar jelas dengan dibuatkannya area Arab, Cina
dan Betawi-Bekasi. Begitu juga beragam kesenian
dimunculkan, ada grup topeng, hadroh, marawis,
gambus, musik jalanan, barongsay, mainan tradisional
anak-anak semisal dampu, gala asin, benteng,
panggal, lompat karet, congklak hingga layar tancep
(memutar film Si Pitung, Si Ayub dari Teluk Naga dan
Singa Krawang-Bekasi) juga dihadirkan. Makanya
sudah dua tahun berturut-turut, dimulai pada 22-23
Nopember 2013 dan 28-29
Nopember 2014, separo Jalan
M. Hasibuan, Bekasi Timur,
Kota Bekasi tertutup bagi
kendaraan umum. Angkutan
kota sejenis elf dan koasi
yang saban hari melalui jalur
tersebut, terpaksa mengalah
dengan mengambil jalan
lurus menyelusuri pinggiran
Kali Malang dan belok persis
di pertigaan Poncol sembari
melewati kober.
Acara yang digagas
Ikatan Keluarga Alumni
SMAN I Bekasi bersama
Dewan Kesenian Kota Bekasi
dan Universitas Islam’45
Bekasi itu menurut panitia
memang ingin mengingatkan
masyarakat Bekasi akan
kekayaan budaya yang dimiliki
daerahnya. Meski terlihat
sederhana tapi masyarakat
menyambutnya dengan antusias. Apalagi di Kria’an
Bekasi 2014 kemarin, Wali Kota Bekasi Dr. Rahmat
Effendi berkenan hadir dan membuka acara
tersebut. Begitu juga Wakil Walikota H. Ahmad
Syaikhu yang datang di hari keduanya. Semoga
kegiatan seperti ini bisa menjadi ikon budaya bagi
Bekasi dan kedepannya menjadi agenda tahunan.
OMANABDULROCHMAN