“Kita adalah angkatan gagap, yang diperanakan oleh angkatan takabur
Kita kurang pendidikan resmi di dalam hal keadilan,
Karena tidak diajarkan berpolitik, dan tidak diajar dasar ilmu hukum”
(Sajak Anak Muda, Rendra)

Kita adalah angkatan gagap yang di-peranakan oleh angkatan takabur.
Yang setiap berganti Orde selalu dimulai dengan teriakan mengge-legar dan mengerek panji kebenaran, lalu setengah perjalanan turun setengah tiang segala panji keadilan dan kebenaran demi
kapital dan kuasa.
Kita kurang pendidikan resmi dalam hal keadilan. Sebab keadilan cuma asap dari pembakaran kayu hukum belaka tak berbentuk bahkan menusuk mata. Menga-burkan pandangan hingga kebenaran tak
berbentuk lagi.Karena kita tidak diajarkan berpolitik. Politik hanya dikenali sebagai alat kuasa
bukan cara alat untuk membentuk pemi-kiran masyarakat, memperkuat isme dan membangun terus konsep berbangsa. Anak-anak kita tak mengerti apa itu “na-tion” kecuali batas-batas wilayah.
Setahun terakhir, politik sudah mema-suki kuburan. Satu demi satu bergoyang hingga sekarat. Entah mengikuti tabuhan musik sendiri atau bergerak meningkahi gen dang orang lain. Yang tersisa cuma
tran saksi dan tukar menukar kapital orang lain.
Partai adalah esensialia pelaksanaan ke daulatan rakyat. Perwujudan hak kon-stitusional warga negara dan representasi hak warga negara dalam berserikat. Partai mengemban tugas sebagai sarana komuni-kasi politik, sosialisasi politik, rekruitmen dan alat pengatur konflik.
Secara sederhana partai menjadi me-dium dalam mengurangi kesimpang-siuran informasi yang beredar di masyarakat, me-milah dan merumuskan dalam kerangka yang benar, lalu menyampaikan kembali
ke masyarakat sehingga masyarakat dapat membentuk sikap dan orientasi terhadap
fenomena politik yang ada. Selanjutnya, menjadi umpan balik bagi penyelenggara negara.
“Kita adalah angkatan gagap, yang diperanakan oleh angkatan takabur
Kita kurang pendidikan resmi di dalam hal keadilan,Karena tidak diajarkan berpolitik, dan tidak diajar dasar ilmu hukum”(Sajak Anak Muda, Rendra)Partai politik seharusnya mampu men-jadi penggerak partisipasi, yang idealnya adalah sukarela, membentuk opini publik yang pada akhirnya akan mempengaruhi kebijakan publik. Dinamika partisipasi di-rumuskan ukurannya dalam kegiatan poli-tik seperti pembentukan opini publik, pe-milihan umum ataupun polling.
Keterasingan biasanya menjadi sikap sinisme politik dari tingkat celoteh, protes hingga huru-hara. Kecenderungan political disaffectiondan sinisme politisi ini bahkan dimobilisasi oleh media massa partisan demi membentuk opini negatif terhadap satu hal, lalu membangun opini yang sa-ngat partisan kepada lain hal. Mobilisasi si-kap partisan baru ini menjadi krusial dalam membentuk angka massa.
Mobilisasi partisan yang paling masif dilakukan media massa partisan milik para politikus partisan berkapital besar. Agenda media menjadi duplikasi agenda sang em-punya.
Dan masyarakat menjadi sekumpulan manusia yang begitu mudah dipengaruhi.
Tak mengherankan Karena tidak diajar-kan berpolitik, dan tidak diajar dasar ilmu hukum”. Sehingga penilaian benar salah adalah selera, bukan tata tertib hukum dan kepatuhan peraturan.
Kebenaran kedudukan publik adalah soal persepsi bukan demi tujuan memba-ngun masyarakat beradab, bernegara dan tertib hukum. Benar itu soal selera, soal siapa mengidentifikasikan diri pada siapa.
Bukan cuma yang mainstream, media sosial kini bahkan jadi target empuk per-putaran kapital. Hitungan yang mencapai puluhan juta kini dianggap modal besar yang tak kalah efektif dengan media-me-dia mainstreamlainnya sebagai penyalur informasi. lebih jauh bahkan menjadi jalur baru pergerakan partisipasi politik yang di-mobilisasi dan dimodifikasi. Sepertinya, masyarakat harus berjuang sendiri untuk menjadi dewasa dalam me-nerima informasi. Berhati-hati menyerap berita dan harus kian pandai membedakan antara kebenaran dan pencitraan. Mengu-tip sebuah artikel di dunia maya membe-rikan tips bagi para wanita yang sedang ja tuh cinta untuk mengetahui apakah laki-laki itu pantas dipuja atau tidak. Apakah le-laki ini sesungguhnya “tulus” atau sekedar “modus” belaka.
Paling tidak ada lima tips yang dicatat di situ yaitu kesatu, kenali ia lebih dalam de ngan mencari sebanyak mungkin infor-masi tentang dia dan menggali isi kepala-nya. Kedua, uji responnya terhadap peno-lakan. Jika penolakan sulit diterima dan cen derung diikuti dengan kemarahan tak ber alasan, cepat-cepat coret calon si dia ini.
Ketiga,jangan terbuai janji manis yang sering diucapkan. Kian sering janji di umbar, kian kecil kemungkinan janji itu dipenuhi.
Keempat, jangan Terburu-buru. Endapkan semua pengalaman lalu pahami bahwa ke tergesaan mengambil keputusan lebih be sar kemungkinan diikuti penyesal an.
Dan terakhir,tidak semua sarannya bisa dilakukan. Artinya kebenaran bukan mono-poli satu orang. Belajar untuk lebih objektif memadang kasus per kasus, peristiwa per peristiwa dan tak mudah pukul rata.
Bukankah perilaku pertikaian antar pe-mu ja para tokoh politik sesungguhnya me-mang mirip orang yang sedang gandrung, ma buk asmara hingga tergila-gila. Percaya-lah, selama anda masih waras, mudah me-ngenali idola anda itu “tulus” atau “modus”.
lalu bersikaplah untuk indonesia!
“Inilah sajakku!
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian, bila terpisah
dari derita lingkungan.
Apakah artinya berfikir, bila terpisah
dari masalah kehidupan.”
(Sajak Sebatang Lisong, Rendra).