dan kemakmuran selalu “kristalisasi” keringat. Ini adalah hukum, jang kita temukan dari mempelajari sedjarah. Bangsa Indonesia, tariklah moral dari hukum ini!”

Kerja dalam benak masyarakat kini seolah sebuah pola perilaku baru melakukan sesuatu demi target yang lebih besar, terarah dan terintegrasi.
Merunut makna denotatif, “kerja” dalam halaman kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “kegiatan melakukan sesuatu; yang dilakukan (diperbuat), sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah; mata pencaharian, perayaan yang berhubungan dengan perkawinan, khitanan, dst.” Pemahaman kerja ini kemudian menjiwai semua jenis gerak tubuh secara fisik sehingga semua perilaku fisik ini atau melakukan sesuatu, dalam diksinya digelari kata kerja. Simpangan dari pengertian ini hanyalah bahwa diksi kerja merujuk pada sesuatu kegiatan yang menghasilkan upah dan nafkah, pe-kerja-an.
Sementara apabila kita telaah pengertian kerja dalam bahasa lain, ambil saja bahasa Inggris, (to) work. Kata ini diartikan sebagai “activity involving mental or physical effort done in order to achieve a purpose or result, mental or physical activity as a means of earning income; employment, a task or
tasks to be undertaken; something a person or thing has to do,something done or made etc.”
Pengertian ini menggiring kita pada pemahaman kerja dalam konsepsi bahasa Inggris tidak sekedar terbatas pada gerak fisik semata dan kegiatan mendapatkan upah. Lebih dari itu, pemahaman kerja menjadi sangat luas dan dinamis. Penekanan yang paling penting adalah bahwa dua unsur yaitu
mental effortdan task undertaken.
Dengan kata lain perilaku mental dan upaya menjalankan tugas. Barangkali ini adalah lapangan semiotik yang akan dianggap terlalu mengada-ada. Akan tetapi saya kira pemahaman sebuah kata dalam bahasa adalah cerminanbangsa itu sendiri. Jika direnungi lebih dalam, sambil mengunyah gorengan dan menyeruput kopi sebagai gerak fisik, sepertinya pilihan makna atas kata “kerja” dalam bahasa Indonesia ini lumayan menjelaskan banyak fenomena seperti blusukan, lompat pagar, atau gerak wajah dan tangan dalam menampilkan emosi marah.
Seketika terbayang wajah Bung Karno mengernyitkan dahi. Barangkali sulit baginya juga untuk mengerti mengapa semua yang mengaku meniru diri dan cara berfikirnya sulit memahami esensinya. Sepertinya anak-anak bangsa ini harus membaca buku si Bung lebih ke dalam dan tidak sekedar di halaman muka belaka. Sekedar untuk memahami apa makna kerja sebagai kristalisasi keringat.
Dikatakannya untuk selalu belajar dari sejarah itu, dalam pengertian lain menelaah, mengkaji dan membangun pemahaman, mental effort. Kebesaran dan kemakmuran adalah hasil kerja barangkali adalah sebuah cara menjalankan tugas tiap anggota bangsa ini, task undertaken. Dan seluruhnya adalah kristalisasi keringat. Artinya seharunya bangsa ini memaknai kerja dengan cara yang sama dengan bangsa lainnya.
Syahdan, kekesalan Chairil Anwar di satu ketika kepada seorang pelayan yang lebih suka melayani orang asing ditumpahkan dengan makian bahwa kita bangsa kuli, bangsa jongos. Barangkali kita harus kembali terus menelaah bahwa kerja tanpa otak adalah sia-sia, cuma kuli, hanya jongos. Atau meminjam ucapan Buya Hamka kalau hidup sekedar hidup, kera di rimba pun hidup; Kalau kerja sekedar kerja, kerbau di sawah pun bekerja.
Dan kerja sudah harus mulai dimaknai lagi… kerja…kerja..kerja.
“…Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakanTapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan…”
(Karawang-Bekasi, Chairil Anwar)